Marketing Spiritual as the Soul of Business
Published on: Thursday 9 June 2016 //
Artikel
Kejutan
besar dilakukan oleh Stephen R. Covey, penulis buku lagendaris The 7 Habit of
Highly Effective People. Ia dipenghujung puncak karirnya sebagai konsultan
kelas dunia menerbitkan buku baru, The 8 th Habit Effectiveness to Gratness,[1] Covey akhirnya berkesimpulan bahwa
faktor spiritual merupakan faktor kunci terakhir yang harus dimiliki seorang
pemimpin dalam suatu perusahaan. Seorang
pemimpin harus memiliki empat style, yang ia sebut “the 4 Roles of Leadership”,
yaitu: Pathfinding (perintisan), Aligning (penyelarasan), Empowering
(pemberdayaan),
dan Modeling (panutan). Pada bagian akhir inilah Covey kemudian menyadari bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang bisa jadi panutan (modeling), seorang pemimpin haruslah memimpin berdasarkan prinsip. Orang lain akan percaya anda bila anda memahami dan hidup berdasarkan prinsip-prinsip, ‘Bulding trust with others’ kata dia. Pemimpin harus mampu menyatukan kata dengan perbuatan, dan pemimpin adalah orang yang layak dipercaya. Kata kunci untuk semua ini adalah kejujuran yang senantiasa menjadi bagian dari nilai-nilai spiritual.
dan Modeling (panutan). Pada bagian akhir inilah Covey kemudian menyadari bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang bisa jadi panutan (modeling), seorang pemimpin haruslah memimpin berdasarkan prinsip. Orang lain akan percaya anda bila anda memahami dan hidup berdasarkan prinsip-prinsip, ‘Bulding trust with others’ kata dia. Pemimpin harus mampu menyatukan kata dengan perbuatan, dan pemimpin adalah orang yang layak dipercaya. Kata kunci untuk semua ini adalah kejujuran yang senantiasa menjadi bagian dari nilai-nilai spiritual.
Memang
tidak dapat dipungkiri bahwa skandal manipulasi laporan keuangan yang
mengguncang perusahaan-perusahaan raksasa yang sudah kami sebutkan diatas,
membuat semua orang sadar bahwa spiritual
menjadi demikian penting dalam suatu bisnis dalam era globalisasi yang
tingkat persaingannya demikian ganas (sophisticated).
Kita
perlukan kepemimpinan spiritual dalam
mengelola suatu bisnis, terlepas dari mana sumber spiritual tersebut, seperti
dikatakan Jonathan L Parapak[2], “Apabila kita dalami elemen-elemen
pokok dari kepemimpinan, maka semua harus diwarnai, dicerahi dan dilandasi oleh
ajaran, nilai dan prinsip-prinsip kriatiani (bagi penganut kristen). Visinya
adalah visi penyelamat, visi transformasi, visi pemeliharaan, visi kasih, visi
pemberdayaan, dan visi kekekalan. Strateginya adalah strategi pemberdayaan,
penyelamatan dan pembaruan. Sistem nilai, ajaran dan prinsip-prinsip kristiani
menjadi pegangan, landasan, acuan, dan arahan utama dalam memilih pola
komunikasi, skenario yang akan digelar”
Disini
Parapak ingin mengatakan bahwa kehidupan bermasyarakat, dalam mengelola bisnis,
atau aktifitas apa saja dalam hubungannya dengan berkomunikasi dengan sesama
umat manusia, mestilah selalu diwarnai oleh nilai-nilai spiritual.
Jadi
nilai-nilai spiritual tidak hanya hadir ketika di gereja saja, ketika di mesjid
saja, ketika di wihara, atau di pure, tapi menjadi nafas dalam kehidupan kita
sehari-hari termasuk dalam dunia bisnis.
Disini kami
kutibkan beberapa ungkapan dalam Kitab dalam kaitan dengan spiritual. Dalam
Al-Kitab dikatakan, Bangsa yang tidak mendapat bimbingan dari Tuhan menjadi
bangsa yang penuh kekacauan...” (Amsal 29:18). Dan “orang yang mengandalkan
Tuhan... akan terbang tinggi seperti burung rajawali” (Yesaya 40:31). Kemudian
dalam kitab Ulangan dikatakan, “Ingat bahwa Tuhan Allahmulah yang memberi
kekayaan itu kepadamu...” (Ulangan 8:18).
Richard
Gaylord Briley[3], dalam membahas bunyi Alkitab diatas,
ketika menjelaskan pentingnya spiritual dalam mewarnai segala macam kegiatan
sehari-hari, menuju kesuksesan mengatakan: “Tuhan tidak menjalankan bisnis yang
gagal. Kisah yang paling tua dalam AlKitab adalah kisah sukses! Hanya sedikit
orang pada zaman sekarang yang mengetahui hal ini karena hanya sedikit orang
yang memperlakukan Alkitab seperti dilakukan orang tua kita, sebagai buku
petunjuk Tuhan untuk kehidupan sehari-hari. Alkitab memberi tahu kita bagaimana
cara untuk hidup, bukan hanya bagaimana cara untuk mati, menunjukkan bagaimana
cara makmur, bukan hanya bagaimana cara mengatasi kemiskinan”.
Kehidupan
yang spiritual adalah hidup dalam kelimpahan kasih, dengan cara yang membuat
kehidupan semakin kaya bagi semua orang. Bagaimana kita dapat hidup dalam
suasana yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan pengembangan diri sendiri,
dengan lingkungan sekitar (masyarakat dan bisnis), bila kita tidak dapat
menghayati sesama. Spiritual kristen dan moral kristen menyatu dalam kehidupan
yang baik. Spiritual erat berkaitan dengan sumber dari sumber tindakan-tindakan
kita. Bila kita memahami bahwa tujuan hidup adalah menjalin keakraban dengan
Tuhan, maka tak akan terjadi perpisahan yang sesungguhnya antara kehidupan
moral dan spiritual. Makna kehidupan yang kita cari, rasa lapar kita akan kasih
serta keinginan untuk menjalin hubungan atau mencari pemenuhan, merupakan
tanggapan terhadap Tuhan yang memberikan diri-Nya.[4]
Sendjaya, seorang pendeta
yang juga doktor di bidang kepemimpinan, dalam bukunya, Konsep Karakter
Kompetensi Kepemimpinan Kristen[5], mengatakan bahwa berbagai problema
yang kompleks dan akut dalam berbagai jenis organisasi bermuara pada absennya kepemimpinan yang
berlandaskan Alkitab. Tidak peduli itu
organisasi bisnis, pemerintah,
pendidikan, kemanusiaan, maupun gereja. Saya yakin prinsip-prinsip kepemimpinan
biblikal bersifat universal dan relevan dalam berbagai konteks kontemporer di
era pasca modern ini. Bahkan banyak perusahaan multinasional yang sukses di
dunia ini tanpa sadar sedang menerapkan prinsip dan pola yang berasal dari
Alkitab.
Senjaya
juga mengatakan, riset menunjukkan bahwa etika bisnis seringkali hanya menjadi
retorika manis di bibir karena para pemimpin perusahaan bertindak tidak etis
dalam relasinya dengan para pegawai, pelanggan, pemegang saham, dan publik
secara luas.
Karena
itu, sahabat saya Syafi’i Antonio (Nio Gwan Chun) , pakar ekonomi Islam, ketika
menjelaskan tentang makna keadilan dalam hubungannya dengan moralitas dalam
bisnis[6], mengatakan bahwa konsep keadilan dalam
Islam berimplikasi kepada keadilan sosial dan
keadilan ekonomi (praktek bisnis).
Dalam konteks keadilan sosial; Islam menganggap umat manusia sebagai suatu
keluarga. Maka, semua anggota keluarga ini mempunyai derajat yang sama di
hadapan Allah. Hukum Allah tidak membedakan yang kaya dan yang miskin, demikian
juga tidak membedakan yang hitam dan putih. Secara sosial, nilai yang
membedakan satu dengan yang lain adalah ketaqwaan, ketulusan hati, kemampuan,
dan pelayanannya pada kemanusiaan.
Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya
Allah tidak melihat pada wajah dan kekayaanmu, tapi pada hati dan perbuatan
(yang ikhlas).” (H.R. Ibnu Majah).
Sifat-sifat tersebut
merupakan cerminan dari ketaqwaan seseorang. Lebih tegas lagi Rasulullah
menekankan akibat buruk dari diskriminasi hukum. Bila orang terpandang,
konglomerat, atau pejabat negara yang mencuri atau korupsi, demikian berat
hukum untuk menjamahnya, dan cenderung
dicarikan cela-cela hukum untuk membebaskan. Akan tetapi jika yang mencuri itu adalah orang-orang
biasa (lemah) maka hukumannya akan diperberat. Sehubungan dengan ini,
Rasulullah bersabda, “Andaikan Fatimah, anak perempuan Muhammad mencuri,
sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya” (H.R. Nasa’i).
Sedangkan keadilan ekonomi kata Syafi’i; bahwa konsep persaudaraan dan
perlakuan yang sama bagi setiap individu dalam masyarakat dan di hadapan hukum
harus di imbangi dengan keadilan ekonomi. Tanpa pengimbangan tersebut, keadilan
sosial kehilangan makna. Dengan keadilan ekonomi, setiap individu akan
mendapatkan haknya sesuai dengan kontribusi masing-masing kepada masyarakat.
Setiap individu pun harus terbebas dari eksploitasi individu lainnya. Islam
dengan tegas melarang seorang muslim merugikan orang lain.
Allah berfirman, “Dan
janganlah kalian merugikan manusia pada
hak-haknya dan janganlah kalian merajalela
di muka bumi dengan membuat kerusakan” (Q.S. Asy-Syuara:183). Demikian
juga kaidah dalam bisnis syariah mengatakan, “laa dhararah walaa dhirarah”
(tidak boleh menzhalimi dan tidak boleh dizhalimi).
Konsep keadilan ekonomi
dalam Islam mengharuskan setiap orang mendapatkan haknya dan tidak mengambil
hak atau bagian orang lain. Rasulullah bersabda, “Wahai manusia, takutlah akan
kezhaliman (ketidakadilan), sebab sesungguhnya dia akan menjadi kegelapan pada
hari pembalasan nanti” (HR. Imam Ahmad).
Karena
itu pengelolaan bisnis yang didasarkan atas semangat spiritual, ke depan
menjadi suatu kebutuhan bagi para pelaku profesional. Kita bisa lagi mengelola
perusahaan dengan hati yang kering dengan nilai-nilai religius, karena ini
telah terbukti hanya akan menjerumuskan perusahaan ke jurang kehancuran dan kebangkrutan.
Seperti
yang dikatakan Ahmad Riawan Amin, CEO
BMI, bahwa di Bank yang dipimpinnya, karyawan berkreasi berdasar
‘prinsip-prinsip langit” (celestial). Karyawan tidak hanya dituntut
menyelenggarakan prinsip pengelolaan usaha yang sehat yang dikenal dengan good
corporate gavernance, melainkan juga melaksanakan prinsip Good corporate
governance dengan presisi transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. Mereka
tidak semata bekerja karena alasan finansial, tapi termotivasi pengabdian
kepada sang Maha. Mempersembahkan kinerja terbaik bagi perusahaan, menjadi
kunci untuk memasuki pintu keabadian menuju-Nya
Lebih
lanjut Riawan mengatakan bahwa semestinya semua aktivitas pengelolaan, apakah
itu bisnis, atau bahkan negara, semestinya diwarnai oleh semangat spiritual
yang menyebarkan kebaikan, bukan kejahatan, menumbuhkan kooperasi, bukan
monopoli, mengedepankan kebersihan dan kejujuran, dan bukan ketamakan dan
keangkuhan.[7]
Takaful,
perusahaan asuransi syariah pertama di Indonesia, mencoba menerapkan
nilai-nilai spiritual ini jauh-jauh hari sejak di awal berdirinya, seperti
dituturkan Agus Haryadi,[8] pada suatu kesempatan diakusi dengan
penulis, beliau mengatakan Takaful adalah salah satu dari institusi syariah
dalam bidang islamic insurance yang cukup ketat dalam membangun spiritual
marketing, karena itu di institusi ini penciptaan corporate culture yang islami
benar-benar dibangun. Misalnya membiasakan seluruh karyawan sholat secara
berjamaah, ini untuk membangun kebersamaan,
membiasakan untuk shaum senin dan kamis, untuk merangsang kepekaan hati
merasakan suasana lapar yang sehari-hari dirasakan orang-orang miskin,
membiasakan ucapan salam “assalamu ‘alaikum” suatu ungkapan doa kepada pihak
lain agar senantiasa mendapat keselamatan dan keberkahan, dan lain-lain.
Salah
satu contoh yang telah menerapkan spiritual marketing dalam bisnisnya adalah pemimpin pesantren Darut Tauhid, KH.
Abdullah Gymnastiar yang lebih dikenal dengan panggilan Aa’ Gym. Apa yang telah
dilakukan Aa’ Gym adalah spiritual marketing. Spiritual marketing bukan berarti
dia melakukan bisnis hanya yang berhubungan dengan masalah agama, atau yang
berhubungan dengan ritual ibadah, tetapi spiritual marketing yang dimaksud
disini artinya kita mampu memberikan kebahagiaan kepada setiap orang yang
terlibat dalam dalam berbisnis, baik diri kita sendiri, pelanggan, pemasok,
distributor, pemilik modal, dan bahkan para pesaing kita. Kita harus mencintai
pelanggan dan sekaligus juga menghargai para pesaing.
Dalam
bisnis syariah, sangat mengedepankan sikap dan prilaku yang simpatik, selalu
bersikap bersahabat dengan orang lain, dan orang lain dengan mudah bersahabat
dan bermitra dengannya. Rasulullah pernah bersabda,
“Semoga Allah memberikan
rahmat-Nya kepada orang yang murah hati (sopan) pada saat dia menjual, membeli,
atau saat dia menuntut haknya” (Al-hadits)
Dalam
al-Qur’an Allah swt mengajarkan untuk senantiasa rendah hati, bermuka manis,
bertutur kata yang baik, berperilaku sopan termasuk dalam aktifitas berbisnis.
Mari kita lihat salah satu firman Allah:
“Janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri. Sederhanakanlah kamu dalam berjalan, dan
lunakkanlah suaramu. Sungguh seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS.
Luqman:18-19)
Suatu
bisnis, sekalipun bergerak dalam bisnis yang berhubungan dengan agama, namun
jika tidak mampu memberikan kebahagian kepada semua pihak, berarti kita belum
melaksanakan spiritual marketing. Sebaliknya, jika dalam berbisnis kita sudah
mampu memberikan kebahagian, menjalankan kejujuran dan keadilan, sesungguhnya
kita telah menjalankan spiritual marketing, apapun bidang yang kita geluti.
Bisnis
Haji misalnya, sekalipun mengurusi orang yang sedang menjalankan ibadah haji,
akan tetapi jika travel haji ONH plus dalam mengurusinya terdapat kecurangan-kecuranngan
dari segi fasilitas dan akomodasi setelah di tanah suci, tidak sesuai dengan
yang dijanjikan dan dipromosikan sebelumnya. Ongkos haji yang demikian tinggi
disebabkan karena banyaknya kecurangan dan korupsi yang dilakukan oleh pihak
penyenggara haji, mulai dari transportasi (tiket pesawat), asuransi, hotel dan
pemondokan di Tanah Suci, makanan, dan lain-lain, seperti yang telah terbongkar
dan heboh saat ini,[9]
maka sesungguhnya bisnis ini tidak berjalan dengan konsep bisnis
syariah, dengan demikian marketingnya
pun bukan dijalankan dengan spiritual marketing. Sekalipun para pelakunya
menggunakan gelar ataukah atribut-atribut yang sering dikesankan sebagai orang
memahami banyak tentang syariah.
Karena
itu Allah swt sangat menekankan kejujuran dan keadilan dalam bisnis syariah.
Dalam spiritual marketing sesungguhnya pesaing (competitor) bukanlah musuh,
yang kepadanya kita mengarahkan moncong senjata kita, mencari kelemahan lalu
mengangkat kelemahan tersebut untuk menyerangnya, tidak. Marketing spiritual
justru menjunjung tinggi nilai-nilai moral, dan selalu memelihara hubungan baik
dan kemitraan dengan competitor.
Persaingan dalam
paradigma spiritual marketing adalah hal yang baik, karena persaingan turut
membesarkan pasar. Jika kita sukses, berarti permintaan pasar terhadap
penawaran kita juga akan membesar. Tentu saja kita memiliki
keterbatasan-keterbatasan, sehingga tidak semua permintaan dapat kita penuhi.
Nah permintaan pasar inilah yang nantinya akan dipenuhi oleh pesaing kita.
Karena itu, dalam
spiritual marketing lebih menempatkan competitor sebagai partner ketimbang
sebagai musuh yang harus dihajar, diangkat kejelekannya, diblokir
langkah-langkahnya, atau bahkan kita harus mengiklankan kelemahan lawan sambil menonjolkan
keunggulan. Allah swt berfirman, “Dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran” (QS. Al-Quran, 5:2)
Dalam ayat lain
dikatakan, “Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati. Tetapi,
jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan
bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan memudharatan
kapadamu” (QS. Ali Imran:120)
Coba
kita simak dalam ayat terakhir, betapa competitor kita justru bersedih jika
kita sukses, dan sebaliknya bergembira jika kita mendapat musibah (kerugian).
Ini adalah sifat orang munafik, orang-orang didalam hatinya tidak ada iman.
Kemudian Allah mengingatkan kepada kita untuk tetap bersabar dan bertakwa, tidak
boleh tergoda oleh sifat-sifat lawan, sifat orang munafik, yang sudah menjadi tradisi dalam bisnis
modern.
Memang
spiritual marketing bertujuan untuk mencapai sebuah solusi yang adil dan
transparan bagi semua pihak yang terlibat. Di dalamnya tertanam nilai-nilai
moral dan kejujuran. Tidak ada pihak yang terlibat didalamnya merasa dirugikan.
Tidak akan ada pula pihak yang berburuk sangka (su’u zhon), nilai-nilai
spiritual dalam berbisnis ini juga akan mampu memperbaiki inner-side kita. Sebaliknya semakin spiritual seseorang ia pun akan
lebih mampu menjalankan bisnisnya dengan lebih tenang dan dicintai oleh semua
pihak.
Kami
melihat untuk saat ini seorang Aa Gym sebagai salah satu contoh konkrit seorang
spiritual marketer, betapa tidak ia telah mengelola 19 perusahaan dalam bisnisnya dengan sukses. Ketika para marketer
perumahan di bandung dengan susah payah memasarkan produknya, maka sang
spiritual marketer – Aa Gym cukup dengan sekali himbauan dalam acara radio siaran
paginya, maka perumahan yang ditawarkan habis terjual 400 unit hanya dalam
waktu kurang dari satu bulan, bahkan masih terdapat 200 orang yang waiting
list, subhanallah; itulah spiritual marketing.
Di markplus kami sering
mengatakan bahwa missi marketing itu, sebagai: marketing is in the business for
being “the soul” not just ‘one part of the body” in an organization; therefore, every body in
the organization is marketer (pemasaran harus menjadi jiwa – bukan hanya “satu bagian dari tubuh” –
sebuah perusahaan, dan karena setiap orang dalam perusahaan akan menjadi
pemasar). Ini artinya bahwa perusahaan tidak akan lagi menjadi monopoli
departemen pemasaran, tetapi pemasaran menjadi dasar bagi setiap orang dalam
mengambil keputusan.
Sedangkan spiritual
marketing adalah puncak dari marketing itu sendiri, spiritual marketing as the
soul of business, ia menjadi jiwa bagi suatu bisnis. Ia bagai pelita yang
menerangi lingkungannya, memancarkan cahaya kebenaran, ditengah-tengah
kegelapan. Membetulkan praktek-praktek pemasaran yang menyimpang, seperti kecurangan,
kebohongan, propaganda, iklan palsu, penipuan, kedzaliman, dan sebagainya. Karena itu, spiritual marketing bagi seorang
penganut agama kristen selalu dijiwai oleh nilai-nilai kristiani. Demikian juga
dengan agama lainnya, nilai-nilai kebenaran yang dianutnya selalu terpancar
dalam praktek marketing spiritualnya sehari-hari.
Sedangkan bagi yang
beragama Islam spiritual marketing sangat syarat dengan nilai-nilai syariah,
dalam implementasinya selalu dijiwai oleh nilai-nilai kebenaran yang terpancar
dari Al- Quran dan sunnah Nabi. Memancarkan cahaya untuk menerangi kegelapan
yang pekat dalam dunia bisnis. Seperti dalam firman Allah;
“Allah
(Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar. Pelita
itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti
mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur (sesuatu) dan tidak pula
di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun
tidak disentuh api. Cahaya di atas
cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang
Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (QS. An-Nur, 24:35)
Spiritual marketing
adalah bentuk pemasaran yang dijiwai nilai-nilai spiritual dalam segala proses
dan transaksinya, hingga ia sampai pada suatu tingkat dimana semua stakeholders
utama dalam bisnis (pelanggan, karyawan, dan shareholder), pemasok,
distributor, dan bahkan competitor
sekalipun memperoleh kebahagiaan, ia terpuaskan (satisfied). Lebih dari itu,
bagi seorang muslim spiritual marketing mengandung nilai-nilai ibadah dan
diyakini mendapat ganjaran pahala dari Allah swt diakhirat kelak.
Bagi seorang muslim dalam
kaitan keyakinan diatas Allah swt berfirman dalam Al-Quran surat
Ash-shaf:10-13, sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang
beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan (bisnis) yang dapat
menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang
lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni
dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya
sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn.
Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia lain yang kamu sukai
(yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang beriman.”
Kemudian
Rasulullah bersabda, “Ketahuilah bahwa surga adalah barang dagangan Allah, dan
ketahuilah barang-barang dari surga mahal harganya” (HR. At-Tirmidzi).
Sebenarnya marketing spiritual ini
dapat kita laksanakan dengan optimal jikalau dalam segala aktifitas kita
sehari-hari, kita menempatkan Tuhan sebagai Stakeholder. Inilah perbedaan pokok
antar marketing biasa dengan marketing spiritual. Kita menempatkan Tuhan
sebagai satu-satunya pemilik kepentingan (the ultimate stakeholder).
Akuntabilitas dan responsibilitas diterjemahkan sebagai pertanggung jawab di
Padang Mahsyar (yaumul hisab) kelak, yang merupakan pengadilan abadi terhadap sepak
terjang manusia (termasuk para pelaku bisnis), baik yang tersurat maupun yang
tersirat[10]. Allah berfirman, “Apakah manusia
mengira, bahwa ia akan diniarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS.
Al-Qiyaamah, 75:36)
Catatan: Dikutip dari buku Muhammad
Syakir Sula & Hermawan Kartajaya,
“Marketing Syariah”, Penerbit Mizan Utama, Bandung, bab I bagian 2, hal
[1] Stephen R Covey, The 8 th Habit From Effectiveness to Greatness,
Simon Schuster, New York, London, Toronto, Sydney.
[2] Jonathan L Parapak, Dalam
Kepemimpinan Kristiani, Spiritual, Etika, dan Teknik-teknik Kepemimpinan Dalam
Era Penuh Perubahan, UPI STT Jakarta,
2001
[3] Richard Gaylord Briley, The Seven Spiritual Secrets of Succes, Image
Book, New York.
[4] Richard M Gula S.S., The Good Life, Berkeley, California.
[5] Sendjaya, Konsep Karakter Kompetensi
Kepemimpinan Kristen, Kairos Books, Yogyakarta, 2004
[6] Muhammad syafi’i Antonio, Bank Syari’ah – Suatu Pengenalan Umum,
BI-Tazkia institute, Jakarta, 1999
[7] Ahmad Riawan Amin, The
Celestial Management, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004
[8] Agus Haryadi adalah salah satu pendiri dan sekaligus sebagai CEO
Takaful Keluarga
[9] Ketika buku ini ditulis, mantan menteri agama dan mantan dirjen
haji, Oleh KPK sedang dijadikan terdakwa dalam kasus korupsi penyelenggaraan
haji.
[10] Muhammad Abdul Ghani, The Spirituality in Business, Pena Pundi
Aksara, Jakarta, 2005.