Big News Times

Basnetg

Basnetg.com - Premium WordPress Themes

Marketing Spiritual as the Soul of Business

Published on: Thursday 9 June 2016 //

Kejutan besar dilakukan oleh Stephen R. Covey, penulis buku lagendaris The 7 Habit of Highly Effective People. Ia dipenghujung puncak karirnya sebagai konsultan kelas dunia menerbitkan buku baru, The 8 th Habit Effectiveness to Gratness,[1] Covey akhirnya berkesimpulan bahwa faktor spiritual merupakan faktor kunci terakhir yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam suatu perusahaan.  Seorang pemimpin harus memiliki empat style, yang ia sebut “the 4 Roles of Leadership”, yaitu: Pathfinding (perintisan), Aligning (penyelarasan), Empowering (pemberdayaan),
dan Modeling (panutan). Pada bagian akhir inilah Covey kemudian menyadari bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang bisa jadi panutan (modeling), seorang pemimpin haruslah memimpin berdasarkan prinsip. Orang lain akan percaya anda bila anda memahami dan hidup berdasarkan prinsip-prinsip, ‘Bulding trust with others’ kata dia. Pemimpin harus mampu menyatukan kata dengan perbuatan, dan pemimpin adalah orang yang layak dipercaya. Kata kunci untuk semua ini adalah kejujuran yang senantiasa menjadi bagian dari nilai-nilai spiritual.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa skandal manipulasi laporan keuangan yang mengguncang perusahaan-perusahaan raksasa yang sudah kami sebutkan diatas, membuat semua orang sadar bahwa spiritual  menjadi demikian penting dalam suatu bisnis dalam era globalisasi yang tingkat persaingannya demikian ganas (sophisticated).
Kita perlukan kepemimpinan spiritual  dalam mengelola suatu bisnis, terlepas dari mana sumber spiritual tersebut, seperti dikatakan Jonathan L Parapak[2], “Apabila kita dalami elemen-elemen pokok dari kepemimpinan, maka semua harus diwarnai, dicerahi dan dilandasi oleh ajaran, nilai dan prinsip-prinsip kriatiani (bagi penganut kristen). Visinya adalah visi penyelamat, visi transformasi, visi pemeliharaan, visi kasih, visi pemberdayaan, dan visi kekekalan. Strateginya adalah strategi pemberdayaan, penyelamatan dan pembaruan. Sistem nilai, ajaran dan prinsip-prinsip kristiani menjadi pegangan, landasan, acuan, dan arahan utama dalam memilih pola komunikasi, skenario yang akan digelar”
Disini Parapak ingin mengatakan bahwa kehidupan bermasyarakat, dalam mengelola bisnis, atau aktifitas apa saja dalam hubungannya dengan berkomunikasi dengan sesama umat manusia, mestilah selalu diwarnai oleh nilai-nilai spiritual.
Jadi nilai-nilai spiritual tidak hanya hadir ketika di gereja saja, ketika di mesjid saja, ketika di wihara, atau di pure, tapi menjadi nafas dalam kehidupan kita sehari-hari termasuk dalam dunia bisnis.
Disini kami kutibkan beberapa ungkapan dalam Kitab dalam kaitan dengan spiritual. Dalam Al-Kitab dikatakan, Bangsa yang tidak mendapat bimbingan dari Tuhan menjadi bangsa yang penuh kekacauan...” (Amsal 29:18). Dan “orang yang mengandalkan Tuhan... akan terbang tinggi seperti burung rajawali” (Yesaya 40:31). Kemudian dalam kitab Ulangan dikatakan, “Ingat bahwa Tuhan Allahmulah yang memberi kekayaan itu kepadamu...” (Ulangan 8:18).
Richard Gaylord Briley[3], dalam membahas bunyi Alkitab diatas, ketika menjelaskan pentingnya spiritual dalam mewarnai segala macam kegiatan sehari-hari, menuju kesuksesan mengatakan: “Tuhan tidak menjalankan bisnis yang gagal. Kisah yang paling tua dalam AlKitab adalah kisah sukses! Hanya sedikit orang pada zaman sekarang yang mengetahui hal ini karena hanya sedikit orang yang memperlakukan Alkitab seperti dilakukan orang tua kita, sebagai buku petunjuk Tuhan untuk kehidupan sehari-hari. Alkitab memberi tahu kita bagaimana cara untuk hidup, bukan hanya bagaimana cara untuk mati, menunjukkan bagaimana cara makmur, bukan hanya bagaimana cara mengatasi kemiskinan”.
Kehidupan yang spiritual adalah hidup dalam kelimpahan kasih, dengan cara yang membuat kehidupan semakin kaya bagi semua orang. Bagaimana kita dapat hidup dalam suasana yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan pengembangan diri sendiri, dengan lingkungan sekitar (masyarakat dan bisnis), bila kita tidak dapat menghayati sesama. Spiritual kristen dan moral kristen menyatu dalam kehidupan yang baik. Spiritual erat berkaitan dengan sumber dari sumber tindakan-tindakan kita. Bila kita memahami bahwa tujuan hidup adalah menjalin keakraban dengan Tuhan, maka tak akan terjadi perpisahan yang sesungguhnya antara kehidupan moral dan spiritual. Makna kehidupan yang kita cari, rasa lapar kita akan kasih serta keinginan untuk menjalin hubungan atau mencari pemenuhan, merupakan tanggapan terhadap Tuhan yang memberikan diri-Nya.[4] 
Sendjaya, seorang pendeta yang juga doktor di bidang kepemimpinan, dalam bukunya, Konsep Karakter Kompetensi Kepemimpinan Kristen[5], mengatakan bahwa berbagai problema yang kompleks dan akut dalam berbagai jenis organisasi  bermuara pada absennya kepemimpinan yang berlandaskan Alkitab.   Tidak peduli itu organisasi bisnis,  pemerintah, pendidikan, kemanusiaan, maupun gereja. Saya yakin prinsip-prinsip kepemimpinan biblikal bersifat universal dan relevan dalam berbagai konteks kontemporer di era pasca modern ini. Bahkan banyak perusahaan multinasional yang sukses di dunia ini tanpa sadar sedang menerapkan prinsip dan pola yang berasal dari Alkitab.
            Senjaya juga mengatakan, riset menunjukkan bahwa etika bisnis seringkali hanya menjadi retorika manis di bibir karena para pemimpin perusahaan bertindak tidak etis dalam relasinya dengan para pegawai, pelanggan, pemegang saham, dan publik secara luas.
            Karena itu, sahabat saya Syafi’i Antonio (Nio Gwan Chun) , pakar ekonomi Islam, ketika menjelaskan tentang makna keadilan dalam hubungannya dengan moralitas dalam bisnis[6], mengatakan bahwa konsep keadilan dalam Islam berimplikasi kepada keadilan sosial dan  keadilan ekonomi (praktek bisnis).
Dalam konteks keadilan sosial;  Islam menganggap umat manusia sebagai suatu keluarga. Maka, semua anggota keluarga ini mempunyai derajat yang sama di hadapan Allah. Hukum Allah tidak membedakan yang kaya dan yang miskin, demikian juga tidak membedakan yang hitam dan putih. Secara sosial, nilai yang membedakan satu dengan yang lain adalah ketaqwaan, ketulusan hati, kemampuan, dan pelayanannya pada kemanusiaan.
Rasulullah saw bersabda:
            “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada wajah dan kekayaanmu, tapi pada hati dan perbuatan (yang ikhlas).” (H.R. Ibnu Majah).
Sifat-sifat tersebut merupakan cerminan dari ketaqwaan seseorang. Lebih tegas lagi Rasulullah menekankan akibat buruk dari diskriminasi hukum. Bila orang terpandang, konglomerat, atau pejabat negara yang mencuri atau korupsi, demikian berat hukum untuk menjamahnya,  dan cenderung dicarikan cela-cela hukum untuk membebaskan. Akan  tetapi jika yang mencuri itu adalah orang-orang biasa (lemah) maka hukumannya akan diperberat. Sehubungan dengan ini, Rasulullah bersabda, “Andaikan Fatimah, anak perempuan Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya” (H.R. Nasa’i).
Sedangkan keadilan ekonomi  kata Syafi’i; bahwa konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama bagi setiap individu dalam masyarakat dan di hadapan hukum harus di imbangi dengan keadilan ekonomi. Tanpa pengimbangan tersebut, keadilan sosial kehilangan makna. Dengan keadilan ekonomi, setiap individu akan mendapatkan haknya sesuai dengan kontribusi masing-masing kepada masyarakat. Setiap individu pun harus terbebas dari eksploitasi individu lainnya. Islam dengan tegas melarang seorang muslim merugikan orang lain.
Allah berfirman, “Dan janganlah kalian merugikan manusia  pada hak-haknya dan janganlah kalian merajalela  di muka bumi dengan membuat kerusakan” (Q.S. Asy-Syuara:183). Demikian juga kaidah dalam bisnis syariah mengatakan, “laa dhararah walaa dhirarah” (tidak boleh menzhalimi dan tidak boleh dizhalimi).
Konsep keadilan ekonomi dalam Islam mengharuskan setiap orang mendapatkan haknya dan tidak mengambil hak atau bagian orang lain. Rasulullah bersabda, “Wahai manusia, takutlah akan kezhaliman (ketidakadilan), sebab sesungguhnya dia akan menjadi kegelapan pada hari pembalasan nanti” (HR. Imam Ahmad). 
            Karena itu pengelolaan bisnis yang didasarkan atas semangat spiritual, ke depan menjadi suatu kebutuhan bagi para pelaku profesional. Kita bisa lagi mengelola perusahaan dengan hati yang kering dengan nilai-nilai religius, karena ini telah terbukti hanya akan menjerumuskan perusahaan  ke jurang kehancuran dan kebangkrutan.
            Seperti yang dikatakan  Ahmad Riawan Amin, CEO BMI, bahwa di Bank yang dipimpinnya, karyawan berkreasi berdasar ‘prinsip-prinsip langit” (celestial). Karyawan tidak hanya dituntut menyelenggarakan prinsip pengelolaan usaha yang sehat yang dikenal dengan good corporate gavernance, melainkan juga melaksanakan prinsip Good corporate governance dengan presisi transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. Mereka tidak semata bekerja karena alasan finansial, tapi termotivasi pengabdian kepada sang Maha. Mempersembahkan kinerja terbaik bagi perusahaan, menjadi kunci untuk memasuki pintu keabadian menuju-Nya
            Lebih lanjut Riawan mengatakan bahwa semestinya semua aktivitas pengelolaan, apakah itu bisnis, atau bahkan negara, semestinya diwarnai oleh semangat spiritual yang menyebarkan kebaikan, bukan kejahatan, menumbuhkan kooperasi, bukan monopoli, mengedepankan kebersihan dan kejujuran, dan bukan ketamakan dan keangkuhan.[7]
            Takaful, perusahaan asuransi syariah pertama di Indonesia, mencoba menerapkan nilai-nilai spiritual ini jauh-jauh hari sejak di awal berdirinya, seperti dituturkan Agus Haryadi,[8] pada suatu kesempatan diakusi dengan penulis, beliau mengatakan Takaful adalah salah satu dari institusi syariah dalam bidang islamic insurance yang cukup ketat dalam membangun spiritual marketing, karena itu di institusi ini penciptaan corporate culture yang islami benar-benar dibangun. Misalnya membiasakan seluruh karyawan sholat secara berjamaah, ini untuk membangun kebersamaan,  membiasakan untuk shaum senin dan kamis, untuk merangsang kepekaan hati merasakan suasana lapar yang sehari-hari dirasakan orang-orang miskin, membiasakan ucapan salam “assalamu ‘alaikum” suatu ungkapan doa kepada pihak lain agar senantiasa mendapat keselamatan dan keberkahan, dan  lain-lain.
            Salah satu contoh yang telah menerapkan spiritual marketing dalam bisnisnya  adalah pemimpin pesantren Darut Tauhid, KH. Abdullah Gymnastiar yang lebih dikenal dengan panggilan Aa’ Gym. Apa yang telah dilakukan Aa’ Gym adalah spiritual marketing. Spiritual marketing bukan berarti dia melakukan bisnis hanya yang berhubungan dengan masalah agama, atau yang berhubungan dengan ritual ibadah, tetapi spiritual marketing yang dimaksud disini artinya kita mampu memberikan kebahagiaan kepada setiap orang yang terlibat dalam dalam berbisnis, baik diri kita sendiri, pelanggan, pemasok, distributor, pemilik modal, dan bahkan para pesaing kita. Kita harus mencintai pelanggan dan sekaligus juga menghargai para pesaing.
            Dalam bisnis syariah, sangat mengedepankan sikap dan prilaku yang simpatik, selalu bersikap bersahabat dengan orang lain, dan orang lain dengan mudah bersahabat dan bermitra dengannya. Rasulullah pernah bersabda,
“Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang murah hati (sopan) pada saat dia menjual, membeli, atau saat dia menuntut haknya” (Al-hadits)
            Dalam al-Qur’an Allah swt mengajarkan untuk senantiasa rendah hati, bermuka manis, bertutur kata yang baik, berperilaku sopan termasuk dalam aktifitas berbisnis. Mari kita lihat salah satu firman Allah:
“Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Sederhanakanlah kamu dalam berjalan, dan lunakkanlah suaramu. Sungguh seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman:18-19)
            Suatu bisnis, sekalipun bergerak dalam bisnis yang berhubungan dengan agama, namun jika tidak mampu memberikan kebahagian kepada semua pihak, berarti kita belum melaksanakan spiritual marketing. Sebaliknya, jika dalam berbisnis kita sudah mampu memberikan kebahagian, menjalankan kejujuran dan keadilan, sesungguhnya kita telah menjalankan spiritual marketing, apapun bidang yang kita geluti.
            Bisnis Haji misalnya, sekalipun mengurusi orang yang sedang menjalankan ibadah haji, akan tetapi jika travel haji ONH plus dalam mengurusinya terdapat kecurangan-kecuranngan dari segi fasilitas dan akomodasi setelah di tanah suci, tidak sesuai dengan yang dijanjikan dan dipromosikan sebelumnya. Ongkos haji yang demikian tinggi disebabkan karena banyaknya kecurangan dan korupsi yang dilakukan oleh pihak penyenggara haji, mulai dari transportasi (tiket pesawat), asuransi, hotel dan pemondokan di Tanah Suci, makanan, dan lain-lain, seperti yang telah terbongkar dan heboh saat ini,[9]  maka sesungguhnya bisnis ini tidak berjalan dengan konsep bisnis syariah, dengan demikian  marketingnya pun bukan dijalankan dengan spiritual marketing. Sekalipun para pelakunya menggunakan gelar ataukah atribut-atribut yang sering dikesankan sebagai orang memahami banyak tentang syariah.
            Karena itu Allah swt sangat menekankan kejujuran dan keadilan dalam bisnis syariah. Dalam spiritual marketing sesungguhnya pesaing (competitor) bukanlah musuh, yang kepadanya kita mengarahkan moncong senjata kita, mencari kelemahan lalu mengangkat kelemahan tersebut untuk menyerangnya, tidak. Marketing spiritual justru menjunjung tinggi nilai-nilai moral, dan selalu memelihara hubungan baik dan kemitraan dengan competitor.
Persaingan dalam paradigma spiritual marketing adalah hal yang baik, karena persaingan turut membesarkan pasar. Jika kita sukses, berarti permintaan pasar terhadap penawaran kita juga akan membesar. Tentu saja kita memiliki keterbatasan-keterbatasan, sehingga tidak semua permintaan dapat kita penuhi. Nah permintaan pasar inilah yang nantinya akan dipenuhi oleh pesaing kita.
Karena itu, dalam spiritual marketing lebih menempatkan competitor sebagai partner ketimbang sebagai musuh yang harus dihajar, diangkat kejelekannya, diblokir langkah-langkahnya, atau bahkan kita harus mengiklankan  kelemahan lawan sambil menonjolkan keunggulan. Allah swt berfirman, “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al-Quran, 5:2)
Dalam ayat lain dikatakan, “Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati. Tetapi, jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan memudharatan kapadamu” (QS. Ali Imran:120)
            Coba kita simak dalam ayat terakhir, betapa competitor kita justru bersedih jika kita sukses, dan sebaliknya bergembira jika kita mendapat musibah (kerugian). Ini adalah sifat orang munafik, orang-orang didalam hatinya tidak ada iman. Kemudian Allah mengingatkan kepada kita untuk tetap bersabar dan bertakwa, tidak boleh tergoda oleh sifat-sifat lawan, sifat orang munafik,  yang sudah menjadi tradisi dalam bisnis modern.
            Memang spiritual marketing bertujuan untuk mencapai sebuah solusi yang adil dan transparan bagi semua pihak yang terlibat. Di dalamnya tertanam nilai-nilai moral dan kejujuran. Tidak ada pihak yang terlibat didalamnya merasa dirugikan. Tidak akan ada pula pihak yang berburuk sangka (su’u zhon), nilai-nilai spiritual dalam berbisnis ini juga akan mampu memperbaiki inner-side kita. Sebaliknya semakin spiritual seseorang ia pun akan lebih mampu menjalankan bisnisnya dengan lebih tenang dan dicintai oleh semua pihak.
            Kami melihat untuk saat ini seorang Aa Gym sebagai salah satu contoh konkrit seorang spiritual marketer, betapa tidak ia telah mengelola 19 perusahaan dalam  bisnisnya dengan sukses. Ketika para marketer perumahan di bandung dengan susah payah memasarkan produknya, maka sang spiritual marketer – Aa Gym cukup dengan sekali himbauan dalam acara radio siaran paginya, maka perumahan yang ditawarkan habis terjual 400 unit hanya dalam waktu kurang dari satu bulan, bahkan masih terdapat 200 orang yang waiting list, subhanallah; itulah spiritual marketing.
Di markplus kami sering mengatakan bahwa missi marketing itu, sebagai: marketing is in the business for being “the soul” not just ‘one part of the body”  in an organization; therefore, every body in the organization is marketer (pemasaran harus menjadi  jiwa – bukan hanya “satu bagian dari tubuh” – sebuah perusahaan, dan karena setiap orang dalam perusahaan akan menjadi pemasar). Ini artinya bahwa perusahaan tidak akan lagi menjadi monopoli departemen pemasaran, tetapi pemasaran menjadi dasar bagi setiap orang dalam mengambil keputusan.
Sedangkan spiritual marketing adalah puncak dari marketing itu sendiri, spiritual marketing as the soul of business, ia menjadi jiwa bagi suatu bisnis. Ia bagai pelita yang menerangi lingkungannya, memancarkan cahaya kebenaran, ditengah-tengah kegelapan. Membetulkan praktek-praktek pemasaran yang menyimpang, seperti kecurangan, kebohongan, propaganda, iklan palsu, penipuan, kedzaliman, dan sebagainya.  Karena itu, spiritual marketing bagi seorang penganut agama kristen selalu dijiwai oleh nilai-nilai kristiani. Demikian juga dengan agama lainnya, nilai-nilai kebenaran yang dianutnya selalu terpancar dalam praktek marketing spiritualnya sehari-hari.
Sedangkan bagi yang beragama Islam spiritual marketing sangat syarat dengan nilai-nilai syariah, dalam implementasinya selalu dijiwai oleh nilai-nilai kebenaran yang terpancar dari Al- Quran dan sunnah Nabi. Memancarkan cahaya untuk menerangi kegelapan yang pekat dalam dunia bisnis. Seperti dalam firman Allah;
            “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas  cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (QS. An-Nur, 24:35)
Spiritual marketing adalah bentuk pemasaran yang dijiwai nilai-nilai spiritual dalam segala proses dan transaksinya, hingga ia sampai pada suatu tingkat dimana semua stakeholders utama dalam bisnis (pelanggan, karyawan, dan shareholder), pemasok, distributor, dan  bahkan competitor sekalipun memperoleh kebahagiaan, ia terpuaskan (satisfied). Lebih dari itu, bagi seorang muslim spiritual marketing mengandung nilai-nilai ibadah dan diyakini  mendapat ganjaran pahala  dari Allah swt diakhirat kelak.
Bagi seorang muslim dalam kaitan keyakinan diatas Allah swt berfirman dalam Al-Quran surat Ash-shaf:10-13, sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat  (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.”
            Kemudian Rasulullah bersabda, “Ketahuilah bahwa surga adalah barang dagangan Allah, dan ketahuilah barang-barang dari surga mahal harganya” (HR. At-Tirmidzi).
            Sebenarnya marketing spiritual ini dapat kita laksanakan dengan optimal jikalau dalam segala aktifitas kita sehari-hari, kita menempatkan Tuhan sebagai Stakeholder. Inilah perbedaan pokok antar marketing biasa dengan marketing spiritual. Kita menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya pemilik kepentingan (the ultimate stakeholder). Akuntabilitas dan responsibilitas diterjemahkan sebagai pertanggung jawab di Padang Mahsyar (yaumul hisab) kelak, yang merupakan pengadilan abadi terhadap sepak terjang manusia (termasuk para pelaku bisnis), baik yang tersurat maupun yang tersirat[10]. Allah berfirman, “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan diniarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. Al-Qiyaamah, 75:36)

Catatan: Dikutip dari buku Muhammad Syakir Sula & Hermawan Kartajaya,  “Marketing Syariah”, Penerbit Mizan Utama, Bandung, bab I bagian 2, hal




[1] Stephen R Covey, The 8 th Habit From Effectiveness to Greatness, Simon Schuster, New York, London, Toronto, Sydney.
[2]  Jonathan L Parapak, Dalam Kepemimpinan Kristiani, Spiritual, Etika, dan Teknik-teknik Kepemimpinan Dalam Era Penuh Perubahan, UPI STT  Jakarta, 2001
[3] Richard Gaylord Briley, The Seven Spiritual Secrets of Succes, Image Book, New York.
[4] Richard M Gula S.S., The Good Life, Berkeley, California.
[5] Sendjaya, Konsep Karakter Kompetensi Kepemimpinan Kristen, Kairos Books, Yogyakarta, 2004
[6] Muhammad syafi’i Antonio, Bank Syari’ah – Suatu Pengenalan Umum, BI-Tazkia institute, Jakarta, 1999
[7] Ahmad Riawan Amin,  The Celestial Management, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004
[8] Agus Haryadi adalah salah satu pendiri dan sekaligus sebagai CEO Takaful Keluarga
[9] Ketika buku ini ditulis, mantan menteri agama dan mantan dirjen haji, Oleh KPK sedang dijadikan terdakwa dalam kasus korupsi penyelenggaraan haji.
[10] Muhammad Abdul Ghani, The Spirituality in Business, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2005.

0 comments for "Marketing Spiritual as the Soul of Business"

Leave Reply

Total Tayangan

Powered by Blogger.

Search This Blog

Feed!

Technology

RSS Feed!
RSS Feed!
RSS Feed!
Subscribe to our RSS Feed! Follow us on Facebook! Follow us on Twitter! Visit our LinkedIn Profile!
Feed!

mainpageads

waktu